Berikut adalah hasil penemuanku terhadap fitnah yang menimpa salah seorang ulama Islam. Sungguh adalah kewajaran jika aku mendengarkan sebuah fitnah ataupun informasi yang tidak baik, mencari dan membuktikannya dari sumbernya langsung. Ya, mulai dari buku Memoar Hasan Al-Banna, Prinsip Pergerakan Ikhwanul Muslimin sampai dengan buku yang aku jadikan sumber article ini. Apa yang menimpanya, tidaklah beda seperti apa yang menimpa ulama-ulama Islam masa lalu. Selalu ada musuh dan selalu ada kawan. Aku bukanlah pembelanya, dan akupun tidaklah fanatik kepadanya. Tetapi kalau kalian tetap memandangku ta’ashub terhadap manhajnya, terserah kepada kalian. Kalian berhak melakukannya. Aku hanya ingin menyampaikan kebenaran berdasarkan penelitianku, bahwa benarkah Hasan Al-Banna berpaham Tafwidh seperti yang kalian tuduhkan. Semoga bermanfaat dan bisa membuat kita lebih arif dalam mensikapi segala sesuatu yang menimpa umat ini.

Manhaj Ikhwan Terhadap Asma dan Sifat Allah

Ustadz Hasan Al-Banna menegaskan manhaj tersebut:

Pertama: Bahwa asma Allah dan sifat-sifat-Nya dalam tauqifiyah (diluar arena ijtihad). Beliau mengatakan:

  

“Ketahuilah bahwa mayoritas kaum muslimin sepakat bahwa tidak dibenarkan menyebutkan nama dan sifat atas Allah swt, yang tidak disebutkan secara syara’. Meskipun nama tersebut dianggap mengandung kesempurnaan. Tidak dibenarkan seseorang mengatakan “Insinyur Alam yang Maha Agung”, atau Direktur Utama seluruh makhluk” dan sebagainya. Asma dan sifat Allah harus berdasarkan istilah yang disebutkan oleh-Nya. Akan tetapi bila perkataan disebutkan untuk tujuan menjelaskan sifat Allah dan mendekatkan pemahaman, itu dibolehkan. Meskipun yang lebih utama adalah tidak melakukannya, disebabkan penghormatan kepada Allah swt.”1

Kedua: Tentang kelompok-kelompok dalam masalah asma dan sifat-sifat Allah, Syaikh al-Banna menyebutkan:

  

“Dalam hal ini, manusia terbagi dalam empat kelompok:

  

Kelompok Pertama. Kelompok yang memahaminya secara tekstual apa adanya, dan menisbatkan wajah Allah pada penggambaran wajah sebagaimana ciptaan-Nya, tangan sebagaimana tangan mereka, tertawa sebagaimana tertawanya mereka, dan seterusnya, hingga menganggap Tuhan sebagai seorang tua, dan ada pula yang menggambarkannya sebagai pemuda. Mereka, kelompok mujasimah (paham menjasadkan) dan musyabbihah (penyerupaan), sama sekali keluar dari aqidah Islam. Perkataan mereka sedikitpun tidak mengandung kebenaran. Kesesatan mereka cukup dijelaskan oleh firman Allah swt, :

  

“Tidak ada yang menyerupainya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuraa: 11)

  

“Katakanlah: “Allah itu esa. Allah tempat meminta. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak sesuatupun yang menyerupai-Nya.” (QS. AL-Ikhlas: 1-3)

  

Kelompok kedua. Kelompok yang meniadakan arti lafadz-lafadz tersebut, degan maksud menafikan petunjuknya secara mutlak dari Allah swt. Bagi mereka, Allah swt tidak berkata-kata, tidak mendengar, tidak melihat dan sebagainya. Karena hal itu tak mungkin terjadi kecuali dilakukan oleh anggota tubuh Allah. Dan Allah swt pasti tidak memiliki anggota tubuh. Karena alasan tersebut, mereka mengingkari sifat-sifat Allah swt, dan menampakkan kesucian-Nya. Mereka adalah kelompok mu’atthilah (paham meniadakan), sebagian ulama tarikh menyebut meraka sebagai kelompok jahmiyah. Saya tidak mengira seseorang menerima logika perkataan yang simpang siur ini.

  

Kedua kelompok di atas adalah sesat, tidak ada gunanya untuk diperhatikan. Di hadapan kita tinggal tersisa dua pendapat yang menjadi perhatian para ulama akidah sekaligus keduanya merupakan pendapat para salaf (ulama terdahulu) dan khalaf (belakangan).”

  

Singkatnya, setelah menyebutkan dua pendapat tersebut, al-Banna mengatakan:

  

“Kami yakin, bahwa pendapat salaf terhadap asma dan sifat Allah swt, baik sukut (tanpa komentar), ataupun tafwidh (menyerahkan hakikat artinya kepada Allah)2, adalah lebih benar dan lebih utama diikuti, untuk mencegah unsur-unsur ta’wil dan ta’thil. Bila Anda termasuk orang yang dikaruniai ketenangan iman, dan sejuknya keyakinan. Janganlah anda rela mengambil alternative lain selain hal ini.”

  

Sebagai tambahan apa yang kami kemukakan tentang perkataan Imam Hasan al-Banna rahimahullah kami sebutkan pula teks perkataan Ustadz Umar Tilmisani rahimahullah dalam masalah ini. Beliau mengatakan:

  

“Ikhwanul Muslimin mengakui, Allah swt. Menjadikan jin dan manusia supaya mengabdi kepada-Nya. Ibadah inilah yag mengantarkan mereka mengenal keagungan, ketinggian dan kekuasaan Allah swt. Dan berakhir pada ujung perjalanan dengan taubat dan kembali memohon ampunan kepada-Nya.

  

“Dan Aku tidak jadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariat: 56)

  

“Karena seungguhnya Dia-lah Yang Awal dan Akhir, Dzahir dan Bathin, segalanya berjalan atas kehendak-Nya. Semua perkara dikembalikan kepada-Nya. Kami lebih mencintai-Nya dari harta, anak-anak dan diri kami sendiri, dengan hati ikhlas dan ridha. Kami senantiasa berada dalam wilayah-Nya supaya senantiasa ingat . pikiran dan hati tenang dan tentram. Jiwa kami berbahagia, bergembira, dan ridha kepada-Nya.”

  

“Katakanlah, “Hanya dengan berdzikir kepada Allah sajalah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

  

Dengan berdzikir kepada-Nya, Ikhwanul Muslimin mengenali Allah. Mereka juga senantiasa bertaubat dalam setiap kesempatan. Dikatakan kepada Ibnu Abbas ra: “Dengan apa anda mengenal Rabb-mu?” Beliau menjawab: “Barangsiapa mencari agamanya dengan “qiyas” sepanjang masanya, ia akan selalu berada dalam kesamaran, di jalan yang bengkok dan akhirnya keluar dari manhaj yang lurus. Aku mengenal Dia tentang diri-Nya menurut apa yang Dia sifarkan tentang diri-Nya.” Demikian apa yang diyakini Ikhwanul Muslimin, sebanding lurus dengan keyakinan para salaf.”

  

“Salafiyyahnya Ikhwanul Muslimin nampak jelas dalam ma’rifat mereka terhadap kebenaran. Mereka membicarakan, mempertahankan, membela dan berkorban untuk kebenaran. Kaidah perdebatan dilakukan menurut pendekatan para salafushalih adalah dengan hikmah. Cara demikian lebih baik karena lebih mendekatkan kepada fikiran manusia dan menarik jiwa mereka untuk menghampiri kebenaran. Selain itu, hal tersebut akan mendorong mereka taat setia kepada Allah swt. Demikianlah cara dan gaya salafushalih mengenal Allah.”

  

“Tinggi rendahnya martabat seorang muslim diukur berdasarkan taqwa. Ukuran harapannya kepada Allah swt. Menurut tinggi rendahnya ma’rifat kepada Allah Yang Maha Agung. Sejauh mana iman dan keyakinan kepada Allah, maka sejauh itulah kesungguhan mereka dalam melaksanakan taat beribadah.”

  

“Maha Agung nama Rabb-mu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan.” (Qs. Ar-Rahman: 78)

  

“Manusia yang paling mengenal Allah swt, itulah yang paling cinta dan paling takut kepada Allah,”

  

Rasulullah saw, bersabda:

  

“Ketakwaanku telah ditimbang sebanding dengan ummat, lalu timbanganku lebih berat, kemudian ditimbanglah Abu Bakar, timbangannya lebih berat, kemudian ditimbanglah Umar dan timbangannyapun lebih berat. Setelah itu timbangan diangkat.” 3

  

Rasulullah saw bersabda lagi, dari hadits Anas ra:

  

“Demi Allah sesungguhnya akulah yang lebih takur kepada Allah daripada kalian dan akulah yang paling takwa kepada-Nya dari kalian.”4

  

Sebagai salafiyun, Ikhwanul Muslimin beriman dengan asma’ul husna sebagaimana adanya. Beriman dengan sifat-sifat tersebut dalam al-Qur’an tanpa ta’wil. Mereka tidak menyamakan Allah swt, dengan sesuatu sebagaimana golongan mujassimin yang berpendapat bahwa Allah swt, mempunyai tangan dan mata seperti tangan dan mata kita. Maha suci Allah dari yang demikian.

  

“Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syu’ara: 11)

  

“Kami berpendapat, Dia bertahta di atas Arsy sebagaimana yang dikatakan Imam Malik: “Bertahta itu ma’qul (dipahami), dan caranya majhul (tidak diketahui), beriman kepadanya adalah wajib dan mempersoalkannya adalah bid’ah.

  

Kami salafiyyun dalam kerohanian dan tingkah laku kami. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah atsar yang maknanya:

  

“Akulah Allah, Tidak ada ilah selain Aku. Raja segala raja. Hati dan ubun para raja ada di tangan-Ku. Maka barang siapa yang taat kepada-Ku, Aku jadikan segenap hati para raja tumbuh rasa Rahmat terhadap dirinya. Adapun yang berma’shiat kepada-Ku, akan Kujadikan siksa terhadap dirinya. Maka janganlah kalian susahkan diri dengan sebab raja-raja itu. Tetapi taubat dan taatlah kepada-Ku. Supaya Aku jadikan mereka belas kasihan terhadap kalian.”5

  

Kalaulah organisasi yang telah ditindas dan dizalimi Jamal Abdul Nashir ini membalas, tentu akan menghabiskan waktu dan sibuk untuk mengutuk pemimpin Mesir yang zalim. Namun Ikhwanul Muslimin tidak memperdulikan itu semua dan menutupinya. Mereka menghadap Allah, memohon ampun, bertasbih dan bertahmid. Semua itu dipahami sebagai ujian. Karena mereka berpegang teguh terhadap agama Allah.

  

“Dan mereka menyiksa orang-orang mu’min itu melainkan karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Al_buruj: 8 )

  

Ikhwan menyerahkan orang zalim itu kepada Allah swt. Karena Dia saja yang berkuasa membela agama-Nya. Dia pasti membinasakan yang zalim dan durjana itu. Demikianlah yang dilakukan oleh salafushalih terhadap orang-orang yang mengganggu dan menyiksa mereka.

  

Seorang hamba Allah mengadu kepada salafushalih: “Sesungguhnya si fulan memakimu.” Lalu salafushalih itu hanya menjawab: “Aku harus marah kepada yang mengajarimu (syaitan). Pergilah dari sini. Semoga Allah mengampuni kita bersama.”

  

Kami salafiyyun, karena kami taat kepada Nabi Muhammad saw. Kami tidak sama denan orang yang mengatakan, “Kami hanya taat kepada Nabi Muhammad saw dalam ibadah. Masalah mu’amalat dan hukum terserah situasi, perubahan masa dan tempat yang mempengaruhinya.”

  

Kami taat kepada Muhammad saw dalam segenap urusan. Baik urusan dunia maupun agama kami. Allah, memerintahkan kami taat kepada Rasul saw dengan taat mutlak tanpa syarat. Selagi perintah dalam al-Qur’an datang sebagai perintah mutlak maka tidak boleh diikat. Demikianlah para pakar ilmu ushul. Pandangan merekalah yang lebih utama didengar. Bukan golongan berpendidikan yang mengutamakan akal semata. Taraf mereka lebih rendah dibanding taraf ulama ushul yang pakar itu. Ilmu kepahaman, kecerdikan, kekuatan hujjah, ketakwaan dan keikhlasannya jauh ketinggalan dari ulama-ulama ushul yang pakar. Sesungguhnya Allah memerintahkan kita taat kepada Rasulullah saw dalam berpuluh-puluh ayat al-Qur’anul Karim.”

  

“Barangsiapa yang menta’ati Rasul sesungguhnya ia mentaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)

  

“Apa yang dibawa Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

  

“Sesungguhnya ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)

  

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya.” (QS. An-Nisa: 59)

  

“Katakanlah: “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggalmu yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (QS. At-Taubah: 24)

  

Dan masih banyak ayat-ayat yang lain. Dari ayat-ayat di atas jelas akan hak Rasulullah saw untuk dita’ati, karena Allah swt berfirman:

  

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 3-4)

  

Bukankah yang demikian itu sikap salafiyyun? Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin, sebagaimana salafiyyun, mereka bermu’amalah, berdagang, berhati-hati, memelihara diri dari bahaya, dan menempuh sebab-sebab sebagai bukti keta’atan kepada perintah Allah swt. Sama sekali bukan karena mereka percaya bahwa sebab-sebab itu sebagai sarana memenuhi hajat mereka.

  

Seorang salafushalih berkata: “Sesungguhnya cenderung meyakini sebab-sebab adalah syirik dalam tauhid. Sedangkan mengingkari sebab-sebab sebagai sesuatu yang harus dilakukan adalah bukti kekurangan akal. Dan menolak sama sekali sebab-sebab berarti menghujat syari’at. Tawakal seorang hamba, do’anya, permintaannya, dan harapannya wajib diarahkan kepada Allah swt semata. Allah membagi untuknya berbagai sebab, disamping di’a kepada-Nya, dan yang lainnya apa yang Dia kehendaki.

  

Atas dasar inilah Ikhwanul Muslimin berjalan.

  

Pemahaman fiqih, perdebatan, dan permasalahan ibadah dalam dunia Islam dikuasai oleh tiga aliran. Dan di bawah masing-masing aliran tersebut terdapat berbagai kelompok lagi.

  

Pertama: Pendukung ilmu kalam. Pemahaman mereka berkisar tentang ada dan tidak ada, perkara yakin dan tidak. Dari pembahasan itu, mereka ingin mencapai tashdiq (yakin) dan ilmu.

  

Kedua: Ahli tasawwuf. Mereka adalah ahli isyarat, kasyaf, istighrok dan fana. Bahasan mereka berkisar pada cinta, rindu, iradah, dan kehendak. Mereka hidup di alam kepatuhan kepada Allah dan berjalan menurut iradah, sebagaimana yang mereka sangkakan.

  

Ketiga: Ahli iman. Mereka termasuk golongan pertengahan di antara dua golongan tersebut. Mereka merangkum antara realitas keyakinannya dengan disertai amal praktis. Menghimpun antara cinta dan kerinduan yang terasa kesannya dalam realitas sikap dengan ruh kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya.

  

Bila mereka mengakui kebenaran setiap apa yang datang dari Allah dan rasul-Nya, maka pengakuan mereka berdiri di atas kebenaran ilmu yang mereka miliki, lengkap dengan dalil naqli dan aqli. Hasilnya, mereka beramal bertolak dari ilmu. Bukan dari keraguan dan prasangka. Bila mereka mencintai, mereka mencintai lantaran perasaan yang benar dan keterangan nyata, bukan mengikuti hawa nafsu dan penyimpangan.

  

Pendapat golongan ketiga di atas adalah pendapat salafushalih, dan golongan orang yang mengikuti langkah mereka hingga masa sekarang. Kenyataannya Ikhwanul Muslimin berada di golongan ini. Salafushalih ini dengan para pengikutnya, menepis kejernihan agama dari kekeruhan hawa dan kekeliruan pemikiran manusia. Mereka seluruhnya yakin bahwa Allah mengaruniakan akal kepada manusia, tidak lain untuk menghisab hamba-hambanya, sesuai dengan kadar akal mereka.

  

Mereka menggunakan akal dalam memilih mana yang berguna dan mana yang berbahaya. Dengan itu, sehingga jelaslah jalan da’wah mereka ini. Pada waktu yang sama mereka mencintai Allah dan Rasul-Nya, secara total. Mereka mengutamakan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi segala apa yang mereka cintai. Walau bagaimana kuatnya godaan hawa nafsu.

  

Mereka memposisikan perintah-perintah Allah di bawah belenggu akal mereka, dalam hal menerima atau menolaknya. Akan tetapi setiap ungkapan dan tindak tanduk mereka tunduk kepada kalam Allah dan sabda Rasulullah.

  

Bila ada orang yang menganggap selain itu, silahkan saja. Kelak pemilik suatu pendapat, seluruhnya akan menanggung akibat pendapatnya di hadapan Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Adil. Adapun Ikhwnaul Muslimin, mereka tetap salafiyyun. Manusia setuju ataupun tidak setuju. Mereka tidak menjadikan hal tersebut dalam timbangan mereka. Yang penting bagi mereka adalah ridha Allah kepada mereka dan mereka memperoleh petunjuk ke jalan yang lurus.

  

Sekiranya setiap kumpulan manusia menghindar dari perdebatan dengan orang lain, dan berusaha terus menerus mencari ridha Allah semata, niscaya hapuslah bencana yang menimpa dunia ini disebabkan setiap orang mempertahankan pendapatnya. Baik yang benar maupun yang salah.

  

“Jikalau Rabb-mu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia itu ummat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu.” (QS. Hud: 118-119)6

           

Footnote:

1)      Al-Aqo’id, Hasan al-Banna, hlm. 21.

2)      Yang dimaksud dalam hal ini adalah tafwidh dalam hal pengetahuan tentang kaifiyyah (cara). Ungkapan yang semulanya rancu telah dijelaskan melalui pembicaraan Hasan al-Banna tentang sifat-sifat Allah, pada kitab al-Aqaid, hal. 48. di mana pada akhirnya ia katakana, “Dan sifat-sifat Allah—tabaraka wa Ta’ala—banyak disebutkan dalam al-Qur’anul Karim. Kesempurnaan Allah—Tabaraka wa Ta’ala—tidak akan pernah habis dan tidak pernah diketahui keadaannya oleh akal manusia. Maha suci Allah tidak dapat terhitung pujian atas-Nya. Keadaan-Nya adalah sebagaimana Dia Memuji Dirinya sendiri.”

Dalam kitab Nadzarat fi an-Nafs wa al-Mujtama’, hal. 145, Hasan al-Banna rahimahullah mengatakan, “Ketika anda membaca buku-buku yang mengatakan bahwa sifat-sifat Allah itu berjumlah 13 atau 20 sifat, ternyata anda dapatkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah, sifat-sifat Allah lebih banyak dari itu…”

Selanjutnya dalam kitab Alah di al-‘Aqidah al-Islamiyahnya, hal. 8-9, Hasan al-Banna menyebutkan, “Saya yakin bahwa termasuk kewajiban kita adalah segera kembali kepada sikap para salafushalih dan memurnikan  ‘aqidah melalui sumbernya yang murni tersebut, yang tidak terdaapt kerancuan  ketidak jelasan di dalamnya. Benarlah apa yang diriwayatkan dari Malik bahwa Rasulullah saw, bersabda, “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang teguh dengan keduanya. Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya saw.”  

3)      Dikeluarkan oleh Ahmad (5/44, 50); Abu Daud (4635); ath-Thahawi dalam al-Musykil (4/312), dari jalur Hammad bin Salmah dari Ali bin Zaid, dari Abdurrahman bin Abi Bakrah dari ayahnya. Ali bin Zaid adalah anak Jad’an, ia dha’if. Akan tetapi hadits ini diriwayatkan pula melalui jalur lain, dikeluarkan oleh Abu Daud (3634), dan Turmudzi (2287) dari jalan Asy’ats dari al-Hasan dari Abi Bakrah. Turmudzi mengatakan ini adalah mudallas 9pemalsu hadits), belum pernah terang-terngan ia mendengar. Hadits ini juga memiliki jalan lain dari hadits Abi Umamah yang dikeluarkan Ahmad (5/259), naun di dalamnya terdapat Ali bin Yazid al-Ilhani yang dha’if.

4)      Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Fath, 11/4-5, dari Anas bin Malik.

5)      Diriwayatkan ole hath-Thabrani dalam al-Ausath, dari Abu Darda dalam al-Ittihafat as-Sunniyyah, hal. 56. berkata al-Haitsami, “Dalam hadits ini terdapat ibrahim bin Rasyid, dan dia adalah matruk.” (al-Majma’, 5/249)

6)      QS. Hud: 18. liaht kitab Ba’dhu Ma ‘allamani al-Ikhwan al-Muslimun, Umar at-Tilmisani.

Sumber : Ikhwanul Muslimin, Deskripsi, Jawaban, Tuduhan, dan Harapan, Syaikh Jasim Muhalhil. Najah Press Jakarta, Cetakan pertama, September 1997.