Tidak Sistematisnya Salafy dalam Belajar dan Mengajar
Oleh Al-Ustadz Arifin Baderi, MA
Sepertinya manhaj yang sedang aku pelajari ini pun akan keluar dari tempurungnya dalam menyikapi realita yang ada. Mungkin akhirnya metode dakwah Ikhwanul Muslimin pun sebagai musuh bebuyutannya akan diimplementasikan juga oleh manhaj ini. Mengenai kenapa menjadi musuh bebuyutannya, sejujurnya aku belum mendapatkan alasan yang fundamental, tetapi lebih kepada prasangka buruk sebagian orang-orang yang berada di dalam manhaj ini saja. Beberapa mungkin benar, tapi setelah diteliti lebih jauh ternyata tetap juga kebenaran tersebut tidak fundamental, maksudnya hanyalah perbedaan masalah furu’iyah (cabang) yang dianggap ushul (pokok) oleh sebagian penganut manhaj ini, ku pikir karena mereka terlalu khawatir akan tersesat dan menjadi 72 golongan yang masuk neraka sehingga sebagian dari mereka begitu kaku dalam menerima manfaat yang dihasilkan oleh penemuan masa kini. Sebagian lagi masih malu-malu menyatakan kebenaran yang mereka peroleh, mungkin juga karena takut di tahdzir dan dituduh hizbiyun. Wallahu’alam.
Saya tertarik dengan tulisan al-Ustadz Abu Farid an-Nuri dalam salah satu articlenya yang beberapa kali mengatakan. ”Kita hidup di dalam realita bukan utopia”. Maksudnya adalah kita ini hidup di masa kenyataan/sekarang loch, bukan di masa khayalan/masa lalu/masa datang. Mungkin dulu kita bersikap atau mengambil pendapat ulama A tapi setelah penelaahan, penelitian dan perenungan sekarang kita bersikap atau mengambil pendapat ulama B. Apakah itu salah? Bukankah untuk banyak hal Allah tidak menyatakan haram secara jelas dalam ayat-ayatnya. Lantas kenapa kita musti menafikan maslahat yang timbul sekalipun merupakan pilihan sulit. Jadi jangan disalahkan juga kalau timbul ijtihad yang berbeda dari berbagai ulama. Toch mereka juga melalui proses penelitian yang dalam, bukan karena nafsu semata dan semestinya kita selalu berhusnudzhan kepada mereka. Saran saya, untuk kalian yang merasa sebagai thulabul ilmu, seharusnya juga meneliti hasil ijtihad-ijtihad tersebut. Jangan lantas langsung menuduh bid’ah, sesat, kafir atau sebutan buruk lainnya terhadap mereka, hanya karena alasan tidak sama dengan manhajnya. Atau sebaliknya, menelan bulat-bulat tanpa mau menelitinya, tapi tidak mau dituduh fanatik dan taklid buta?
Berikut aku sampaikan sebuah article menarik yang bersumber dari blognya al-akh Abu Salma (semoga Allah menambah pahala atas usahanya) di http://dear.to/abusalma karya al-Ustadz Arifin Baderi, MA. Semoga bermanfaat…
Bila kita membaca nasehat-nasehat para ulama’ –baik ulama’- terdahulu maupun ulama’ zaman sekarang- dalam perihal menuntut ilmu, maka kita akan dapatkan mereka menganjurkan kita untuk memulai mempelajari ilmu-ilmu yang paling penting, kemudian yang penting, dan kemudian yang kurang penting dan seterusnya,. Sehingga setiap orang yang ingin berhasil dalam menuntut ilmu, maka dengan ilmu itulah ia memulai belajar. Dan setelah ia mengetahui ilmu yang paling penting, lalu iapun harus bisa memilah-milah pembahasan-pembahasan ilmu tersebut, sehingga ia harus mendahulukan hal-hal prinsip dalam ilmu tersebut, sebelum ia mempelajari hal-hal lainnya.
Sebagai contoh: Ilmu yang paling penting dalam kehidupan seorang muslim, adalah ilmu tauhid, maka ilmu inilah yang pertama kita pelajari. Dan ketika kita hendak memulai belajar ilmu tauhid, maka kita harus tahu, dari bagian ilmu tauhid yang mana kita harus memulai ? Apakah kita mulai dari mempelajari permasalahan tauhid uluhiyah, ataukah tauhid rububiyyah, atau tauhid asma’ wa shifat ? Mungkin ada yang berkata : Bagaimana, saya bisa melakukan hal ini, sedangkan saya adalah pemula atau orang awam, yang belum tahu apa-apa ?
Nah…inilah sumber permasalahan yang ingin saya tekankan. Sebagai tholibul ilmi pemula, terlebih-lebih masyarakat awam , tentunya ia tidak akan mampu melakukan hal ini sendiri, oleh karena itu, disini datanglah peran para asatidzah dab du’at, mereka dituntut untuk mengarahkan dan membimbing murid-murid mereka, masing-masing disesuaikan dengan kemampuannya. Nah…kewajiban inilah yang saya rasa telah banyak dilalaikan oleh para asatidzah dan du’at-du’at kita, sehingga terjadilah kekacauan, dan berbagai fitnah di masyarakat.
Artinya : Berbicaralah kepada setiap manusia dengan masalah-masalah yang mampu mereka pahami, apakah kalian suka bila Allah dan Rasul-Nya didustakan. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori tanpa menyebutkan sanad, dan Imam Al Baihaqi dalam kitab Al Madkhal, dan Al Khathib Al-Baghdady dalam kitab Al Jami’, keduanya dengan menyebutkan sanadnya).
Sebagai contoh nyata : Pada +/- 4 tahun silam, pada saat terjadi muqabalah (test seleksi mahasisiwa untuk belajar di Al Jami’ah Al-Islamiyyah), berkumpulah sekitar 50 orang thullabul ilmi di sebuah pesantren, lalu beberapa asatidzah –termasuk saya sendiri- menghubungi beberapa syekh yang sedang menjalankan test muqobalah tersebut, guna emohon agar sebagian mereka sudi mengunjungi pesantren tersebut diatas dan kemudian menguji ke 50 thullab tersebut. Alhamdulillah, salah seorang syekh yang ada kala itu bersedia memenuhi undangan kita, syekh tersebut bernama : “Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil” Penulis buku Manhaj dan Aqidah Imam Syafi’iy yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi’I), dan ketika beliau sudah tiba di pesantren yang dimaksud, maka beliau langsung mengetest / menguji ke-50 thullab, satu demi satu.
Dan diantara pertanyaan yang beliau lontarkan kepada mereka :“Sebutkan rukun-rukun sholat?”Sangat memalukan, dari ke 50 orang tersebut, tidak satupun yang berhasil memberikan jawaban, walau hanya menyebutkan satu rukun saja. Bahkan ada salah satu dari mereka yang memeberanikan diri untuk menjawab, dan berkata : “Diantara rukun sholat adalah berwudhu sebelumnya”. Lalu syekh tersebut bertanya kepada salah seorang mereka : “Siapakah yang lebih kafir, ahlul bid’ah ataukah yahudi?”, maka dengan sekonyong-konyong orang tersebut berkata : Ahlul bid’ah lebih kafir dibanding yahudi. Tatkala syekh Muhammad bin Abdul Wahhab mendengar jawaban tersebut, beliau terbelalak, seakan tidak percaya melihat kenyataan yang sangat memalukan ini dan berkata: “Apakah ini yang kalian pahami tentang manhaj salaf ?!, Siapakah yang mengajari kalian demikian ?!.
Yang lebih parah dari itu semua, pada keesokan harinya, ada salah seorang ustadz yang berceramah dan berkata : “Sesungguhnya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil telah dipengaruhi oleh orang-orang sururiyyin, sehingga bertanya kepada murid-murid kita dengan pertanyaan yang rumit”.
Apakah para pembaca percaya dengan komentar ustadz tersebut, apakah pertanyaan tentang rukun sholat rumit? Apakah tidak ada yang tahu bahwa yahudi jelas-jelas kafir, sedangkan ahlul bid’ah banyak dari mereka tidak sampai kepada kekufuran ?!?!?!
Contoh lain : Beberapa saat lalu, ramai terjadi fitnah antara masyarakat dengan syabab yang telah kenal pengajian salaf, dalam masalah beradzan diluar masjid, iqomah tanpa menggunakan pengeras suara, menentukan waktu-waktu shalat dengan menggunakan matahari, mengenakan pakaian gamis dilingkungan yang tidak kenal gamis, seperti di kampus, dll.
Contoh lain : Setiap kali sampai ke Indonesia sebuah kitab baru, terutama yang ditulis oleh ulama’-ulama’ zaman sekarang, seperti Syekh Rabi’ bin Hadi Al Madkholi, Ali Hasan, Mansyur Hasan Salman, atau yang lainnya, kita langsung ramai-ramai membacakan kitab tersebut, dan marak diadakan dauroh-dauroh membahas kitab tersebut, dan tatkala ada kitab baru lagi,maka kitapun ramai-ramai pindah ke kitab tersebut, dan begitulah seterusnya. Bukan berarti tidak dibenarkan untuk membaca kitab tersebut, akan tetapi, sistematis dalam belaja dan mengajar harus tetap dijaga.
Contoh lain : Tatkala ada salah seorang dari ustadz, atau da’i yang sedang ditahdsir, maka disetiap kota, dan setiapa majlis, pembicaraan dan materi kajiannyapun berhubungan dengan ustadz tersebut, baik yang pro ataupun kontra, sibuk dengan isu seputar permasalahan tersebut, dan melalaikan ilmu.
Sikap yang tidak punya pendirian ini, bagaikan buih lautan yang diombang-ambingkan oleh angin, kemana angin berhembus, maka kesanalah buih menuju. Oleh karena itu tidak heran kalau keilmuan yang terbentuk dari cara pedidikan dan dakwah seperti ini, tidak kokoh sebagaimana lemahnya buih lautan yang tidak pernah tetap pada sebuah pendirian. Sebagai wujud lain dari permasalahan ini adalah : Sering kali kita merasa cukup dengan hanya mengenal nama sebuah istilah, walaupun tidak mengenal hakikat.
Para ulama telah banyak menjelaskan, bahwa setiap nama dalam syariat islam ini, adalah merupakan istilah syar’i, sehingga defiinisi dan maknanyapun harus dipahami sesuai dengan yang dikehendaki dalam syariat islam, tidak cukup untuk dipahami secara bahasa Sebagai contoh : kata “sholat” secara bahasa kata ini bermakna “doa”, akan tetapi dalam syariat kata tersebut memiliki definisi lain, sehingga kalau kita membaca ayat atau hadits yang menyebutkan kata “sholat”, maka kita fahami secara istilah syariat, bukan secara bahasa. Begitu juga halnya dengan istilah –istilah syariat lainnya, kecuali kalau ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari kata “sholat”disitu adalah makna secara bahasa, bukan secara syariat.
Nah…sampai saat ini, kita telah banyak mengenai dan tahu berbagai istilah dalam syariat, akan tetapi yang menjadi permasalahan, apakah kita sudah mengenal makna istilah tersebut secara syariat, sebagaimana kita mengenal definisi kata “sholat”, lengkap dengan mengenal syarat, rukun, wajibat, dan sunnah-sunnahnya?.Untuk lebih jelasnya, kita kenal kata “tasyabbuh”, apakah kita sudah mengetahui tentang makna kata ini dengan benar, syarat-syarat, rukunrukun, dan hukumnya ? atau kita baru tahu namanya saja ? Sebagai bukti, mari kita renungkan bersama hadits berikut ini :Artinya : Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, ia berkata : “Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hendak menuliskan surat ke romawi, (para sahabat berkata kepada beliau) : Sesungguhnya orang-orang romawi tidak mau membaca surat, kecuali bila berstempel. Maka Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam membuat stempel dari perak”. (HR Bukhori dan Muslim)
Bukankah Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam dalam kisah ini meniru kebiasaan orang-orang kafir? Bukankah ini tasyabbuh ? Ini menunjukkan bahwa tidak semua perbuatan yang menyerupai orang kafir, atau ahli bid’ah diharamkan, akan tetapi ada beberapa kriteria / syarat yang harus diperhatikan, diantaranya :1. Perbuatan tersebut merupakan ciri khas mereka.2. Perbuatan tersebut tidak mendatangkan manfaat.3. adanya niat meniru, berdasarkan hadits ( Innal a’malu binniyaati / sesungguhnya setiap amalan disertai dengan niat…)
Sebagai contioh lain : Kita semua tahu, bahwa mobil, pesawat terbang, berbagai peralatan telekomunikasi yang ada pada zaman kita ini, adalah dibuat oleh orang-orang kafir, tapi kenapa tidak satu orangpun yang mengharamkannya hal-hal tersebut dengan alasan tasyabbuh?
Yang lebih memilukan adalah nasib istilah “manhaj salaf”, betapa sering kita mengaku bahwa kita bermanhaj salaf, mengikuti manhaj salaf, dan berdakwah sesuai dengan manhaj salaf, tapi mari kita jujur, dan balik bertanya kepada diri sendiri, apa sebenarnya yang dimaksud dengan manhaj salaf, bagaimana rumusannya, permasalahan apa saja yang tergolong dalam manhaj salaf, sejauh mana kita telah kenal atau menguasai atau memahami manhaj salaf…dst?
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang –menurut hemat saya- sampai saat ini di negri kita Indonesia, belum mendapatkan jawaban dan penjelasan yang semestinya. Oleh karena itu, setiap kali kita mengenal atau mendengar sebuah nama atau istilah dalam syariat ini, hendaknya kita jangan merasa puas, sebelum mengenal dan memahami segala permasalahan yang berhubungan dengan istilah tersebut. Dengan cara kita tanyakan kepada para `ulama atau kita baca kitab-kitab yang menjelaskan istilah tersebut hingga tuntas. Sebagai wujud lain dari permasalahan pertama ini:adalah sikap meremehkan peranan kaedah-kaedah dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam berbagai ilmu syariat.
Pada akhir-akhir ini, saya mulai mendengar ungkapan-ungkapan yang menyeru agar kita tidak menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu ushul fiqh, qowaid fiqhiyyah dan tidak perlu mempermasalahkan pembagian suatu ibadah menjadi: rukun, syarat, wajib, dan sunnah.
Mereka berkata : “Yang penting bagi kita adalah mengetahui, bahwa amalan tersebut diamalkan oleh Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam, maka kita amalkan, tidak perlu tahu, apakah hal tersebut merupakan syarat, rukun, atau wajib, atau sunnah dalam suatu sebuah ibadah.
Yang lebih menyedihkan lagi, bila hal ini diucapkan oleh orang yang mengaku dirinya bermanhaj salafy, lebih menyedihkan lagi kalau orang tersebut adalah seorang yang dipanggil ustadz, dan sangat lebih memilukan lagi bila ternyata yang mengucapkan itu adalah seorang yang menyandang gelar ( Lc ) yang ia peroleh dari Al Jami’ah Al Islamiyyah di Madinah Munawwarah. Para ulama semenjak zaman dahulu kala mengatakan : Artinya : Barangsiapa yang tidak memperoleh hal-hal yang prinsip, maka dia tidak akan mencapai ilmu.
Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada orang-orang yang mengatakan ungkapan ini : “Ulama manakah, dan siapakah namanya, yang berhasil menjadi ulma’, tanpa mempelajari lmu-ilmu tersebut?” Pada mulanya, saya merasa keheranan mendengar ungkapan ini, tapi setelah saya pikirkan, kemudian saya cocokkan dengan keadaan orang-orang tersebut, rasa heran saya menjadi sirna, hal ini dikarenakan saya berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut, rasa heran saya menjadi sirna, hal ini dikarenakan saya berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut hanya ingin menutupi ketidak pahamannya tentang ilmu-ilmu tersebut.
Untuk sedikit memberikan gambaran akan pentingnya mengetahui ilmu-ilmu tersebut, dan pembagian suatu ibadah menjadi syarat, rukun, wajib, dan sunnah, berikut ini akan saya jelaskan satu hal yang tidak asing bagi kita semua. Ahlis sunnah wal jama’ah telah sepakat dalam mendefinisikan “iman”, bahwa iman adalah keyakinan hati, ucapan lisan dan amalan dengan anggota badan.
Dan merekapun telah sepakat, bahwa barangsiapa yang mengingkari sesuatu yang telah disepakati olejh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya wajibnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, dll, maka dihukumitelah kafir, keluar dari agama islam, walaupun ia masih tetap menjalankan sholat, puasa, mandi janabah dll.
Imam An Nawawi berkata : “Adapun pada saat ini, sungguh agama Islam telah menyebar, dan telah merata dikalangan kaum muslimin ilmu tentang kewajiban membayar zakat, sehingga diketahui oleh setiap orang khusus dan orang awam, ulama dan orang bodohpun sama-sama mengetahuinya, maka tidak diberikan uzur bagi siapapun, karena sebuah alasan yang ia pegangi, untuk mengingkari kewajiban zakat. Begitu juga halnya dengan orang yang mengingkari sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, haramnya zina, khomer, menikahi mahram. Dan hukum-hukum yang serup, kecuali orang yang baru masuk Islam, dan tidak mengetahui norma-norma agama islam, maka bila orang seperti ini mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut, karena kebodohannya tentang hal tersebut, ia tidak kafir.” ( Syarah Shohih Muslim 1/250 )
Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya beriman dengan wajibnya kewajiban-kewajiban yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang, dan dihaamkannya hal-hal yang diharamkan yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang adalah salah satu prinsip keimanan yang paling agung dan salah satu dari kaedah-kaedah agama Islam, dan orang yang mengingkarinya telah disepakati akan kekafirannya”. (Majmu’ Fatawa 12/496).
Oleh karena itu, orang yang menjalankan sholat-misalnya-, dengan sempurna, akan tetapi ia tidak menyakini bahwa takbiratul ihram adalah rukun, maka sholatnya tidak syah, walaupun ia tetap bertakbiratul ihram. Dan barangsiapa yang tidak meyakini wajibnya berwudhu sebelum sahalat, maka sholatnya tidak syah, walaupun ia telah berwudhu sebelumsholat. Inilah salah satu wujud nyata dari definisi iman menurut Ahlis Sunnah Wal Jama’ah. Untuk lebih jelas lagi. Silahkan baca buku-buku fiqih yang yang menjelaskan syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib sholat.
—oOo—
NB: Ikhwan wa akhwat fillah article menarik ini mengingat kanku kepada materi-materi tarbiyah dan metode halaqah yang pernah aku peroleh dan dikambinghitamkan sebagai bid’ah oleh sebagian Aktivis Baru Ghirah yang baru memasuki manhaj ini. Tidak perlu aku sebutkan dan tunjukkan, karena akan mengorek luka lama dan semakin membuat aku mengerenyitkan dahi tanda kebingungan 🙄
Mungkin sebagian dari kalian yang berada atau pernah berada di dalam tarbiyah telah mengetahuinya, bahwa tarbiyah memiliki metode yang sistematis dalam mendidik orang-orang yang berada di dalam jamaahnya. Yup, kami menyebutnya Kurikulum Tarbiyah. Kurikulum yang berbeda sesuai level kemampuan yang dimiliki oleh orang-orang yang berada di dalam manhajnya. Mengenai hal ini, sudah dijual bebas dan banyak beredar di internet loch. Monggo kalau mau dimanfaatkan, insyaAllah, nggak akan bid’ah dan aneh.
Dan ternyata manhaj yang sedang aku teliti ini pun menyadari kelemahannya, mungkin suatu saat merekapun akan membuat kurikulum juga untuk mendidik orang-orang yang berada di dalamnya, mudah-mudahan ini bisa menambah pahala buat orang-orang yang membuatnya untuk pertama kali. Kita tunggu saja….
Wallahu’alam bishawab.
Sumber : http://dear.to/abusalma
2 responses to “Metode Belajar dan Mengajar Salafy Ternyata Tidak Sistematis ???”
anak usil
Januari 13th, 2008 pukul 07:15
—> Mengenai kenapa menjadi musuh bebuyutannya, sejujurnya aku belum mendapatkan alasan yang fundamental, —>
Pak ustadz, mungkin jawaban saya bisa jadi masukan
kenapa IM tidak akan bertemu dengan Salafy dan sebaliknya, pointnya adalah di “Sufi”
IM Mengadopsi “istilah” sufi yang hakikat mereka maksud sebenarnya bukan sufi (asli) , tapi pada akhirnya IM itu sendiri juga terwarnai oleh aqidah sufi (asli) yang terkenal sesat itu.
di point ini “sufi” sudah menjadi fitnah yang tidak akan pernah menyatukan IM dan salafy
benarlah hadits rasul ..tentang fitnah yang akan muncul dari sebuah kota yang memang kota itu adalah tempat lahirnya “sufi”
fitnah itulah yang akan memecahkan IM, dan Salafy, … begitu juga manhaj manhaj laen ..
Salafy dan JT pecahnya di mana .. Sufistik
Salafy dan HT .. pecahnya dimana … di Sufistik
Salafy dan Sufistik ga akan menyatu
Salafy dan IM ga menyatunya di Sufistik juga..
JT,HT. IM di ranah Kesufian mereka akan satu ..
tapi di antara 73 cuman ada 1
ketahuilah sufi adalah topeng lain dari syiah yang memasuki wilayah sunni
__________
Ibn Abd Muis, menjawab:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Hik..hik..hik… 😆 Kamu Salafy Ekstrim ya? 🙄 Sufi lagi..sufi lagi… ya seperti itu deh… mengkambinghitamkan yang lain. Padahal tidak tahu hakikat yang ada di dalamnya. Terkadang hati yang kotor itu memang sulit menerima kebenaran. Karena kamu tidak berani membaca buku aslinya ada baiknya kamu lihat jawaban saya yang ini yang berhubungan dengan sufi https://ihwansalafy.wordpress.com/2007/10/23/taubatnya-seorang-salafy-yamani/#comment-51
Mengenai satu golongan selamat yang kamu maksud sebaiknya kamu baca yang ini https://ihwansalafy.wordpress.com/2007/11/05/ternyata-kalian-pun-berhak-menyandang-sebutan-firqah-najiyah/
Padahal sudah sering saya katakan, adalah sebuah kengerian yang teramat sangat bila harus bersatu dengan orang-orang ekstrim yang kaku dan jumud yang hanya mengaku-aku pengikut salaf padahal sejatinya adalah haddadiyah. Sukses terus dech bung… 😆 Btw, thank’s ya link rujukannya… 😳
Dody Kurniawan
Januari 28th, 2008 pukul 01:51
Assalamu’alaikum wr wb
Menarik sekali artikel yang ustadz tuliskan….
ada beberapa pandangan tentang fenomena sebagian dari kaum salafiyun dalam masyarakat dari tulisan ustadz yang sama dengan yang saya renungkan selama ini….
yaitu adanya beberapa ikhwah salafy yang terjerumus dalam ‘permainan’ furu’ tetapi mereka merasa bermain dalam tataran ushul…padahal diin yang sempurna ini dibangun di atas pondasi yang kokoh yang dituangkan dalam prinsip2 global…kesanalah semua umat Islam harus berpegang teguh…sebab ketergelinciran dari manhaj yang benar adalah karena tidak berpegangnya mereka dari prinsip2 global agama tsb, disadari atau tidak disadari….
sebagian dari salafiyyun cenderung bersikap ekslusif dan mengklaim sepihak atas nilai2 kebenaran, padahal para Imam yang empat aja tidak pernah mengkalim kebenaran hanya monopoli mereka…bahkan mereka melarang pengikutnya untuk membabi buta kepada pendapat2 para Imam…karena tidak ada yang maksum di dunia selain Rasulullah saw….
mengenai sufi dan tasawuf sendiri Ibnu Taimiyah tidak mencelanya habis2an tetapi hanya menilai sufi yang dibenarkan adalah sufi yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah….
tetapi mohon maaf pak ustadz, apakah salafy yang bapak maksud dari tulisan di atas tentunya secara keseluruhan dari gerakan salafiyyun kan?…sejujurnya banyak dari mereka yang memang berada dalam manhaj salafussholeh….ini menurut pandangan saya….
terima kasih atas perhatiannya…
wallahu’alam bisshowwab…
__________
Ibn Abd Muis, menjawab:
apakah salafy yang bapak maksud dari tulisan di atas tentunya secara keseluruhan dari gerakan salafiyyun kan?…sejujurnya banyak dari mereka yang memang berada dalam manhaj salafussholeh….ini menurut pandangan saya….—-> alhamdulillah, sejak awal, saya telah meyakini ada orang-orang yang sungguh bermanhaj salafusshalih dari mereka [Salafy], juga yang berada pada manhaj lain [JT, IM, HT, NU, Muhamadiyah dll]. Terkadang perilaku-perilaku jahil dari kitalah yang menyebabkan mereka seolah tertutupi asap pekat. Insyaallah, saya tidak mengeneralisir seluruhnya, hanya yang ekstrim-ektrim saja, dan kenyataannya, saya memang mendapati sebagian dari mereka yang sungguh bermanhaj salafus shalih.
Mengenai sebutan ustadz, antum jangan terlalu berlebihan. Ana hanya thalibul ilmi juga kok, yang merasa aneh dengan perilaku thalibul ilmi yang lain yang tidar sadar dengan kejahilannya. Dan mungkin menurut mereka ana juga jahil, karena sama-sama jahil itulah, maka sebaiknya kita bersikap hati-hati khususnya terhadap ulama.
“Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulallah saw. Bersabda:”Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba-Nya. Tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewakafkan (mematikan) ulama, sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang pandai maka manusia mengambil orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya maka mereka memberi fatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.”(HR: Bukhari)
Dari Abdullah (ibnu MAs`ud) – (Berkata Abu Wail: Dan aku menyangka dia memarfu`kan hadits–, dia berkata : “Antara dua tangan kiamat adalah hari-hari kekacauan, ilmu menghilang dan pada hari-hari itu muncul kebodohan (karena kepergian ulama dan kesibukan fitnah-fitnah)”. Abu Musa berkata : “Al-Harj (kekacauan) adalah pembunuhan, dengan bahasa habasyiah”.(HR: Bukhari)
Tidak ada yang ana harapkan selain kebaikan, khususnya buat ana dan umat Islam seluruhnya. Oh ya, article ini ana peroleh dari blognya Abu Salma. Wallahu a’lam, jikalau segalanya telah baik, mungkin ana tidak akan mengupdate article-article baru lagi seputar SALAFY EKSTRIM. Barakallahu fiik.