Tidak Sistematisnya Salafy dalam Belajar dan Mengajar

Oleh Al-Ustadz Arifin Baderi, MA 

Sepertinya manhaj yang sedang aku pelajari ini pun akan keluar dari tempurungnya dalam menyikapi realita yang ada. Mungkin akhirnya metode dakwah Ikhwanul Muslimin pun sebagai musuh bebuyutannya akan diimplementasikan juga oleh manhaj ini. Mengenai kenapa menjadi musuh bebuyutannya, sejujurnya aku belum mendapatkan alasan yang fundamental, tetapi lebih kepada prasangka buruk sebagian orang-orang yang berada di dalam manhaj ini saja. Beberapa mungkin benar, tapi setelah diteliti lebih jauh ternyata tetap juga kebenaran tersebut tidak fundamental, maksudnya hanyalah perbedaan masalah furu’iyah (cabang) yang dianggap ushul (pokok) oleh sebagian penganut manhaj ini, ku  pikir karena mereka terlalu khawatir akan tersesat dan menjadi 72 golongan yang masuk neraka sehingga sebagian dari mereka begitu kaku dalam menerima manfaat yang dihasilkan oleh penemuan masa kini. Sebagian lagi masih malu-malu menyatakan kebenaran yang mereka peroleh, mungkin juga karena takut di tahdzir dan dituduh hizbiyun. Wallahu’alam. 

Saya tertarik dengan tulisan al-Ustadz Abu Farid an-Nuri dalam salah satu articlenya yang beberapa kali mengatakan. ”Kita hidup di dalam realita bukan utopia”. Maksudnya adalah kita ini hidup di masa kenyataan/sekarang loch, bukan di masa khayalan/masa lalu/masa datang. Mungkin dulu kita bersikap atau mengambil pendapat ulama A tapi setelah penelaahan, penelitian dan perenungan sekarang kita bersikap atau mengambil pendapat ulama B. Apakah itu salah? Bukankah untuk banyak hal Allah tidak menyatakan haram secara jelas dalam ayat-ayatnya. Lantas kenapa kita musti menafikan maslahat yang timbul sekalipun merupakan pilihan sulit. Jadi jangan disalahkan juga kalau timbul ijtihad yang berbeda dari berbagai ulama. Toch mereka juga melalui proses penelitian yang dalam, bukan karena nafsu semata dan semestinya kita selalu berhusnudzhan kepada mereka. Saran saya, untuk kalian yang merasa sebagai thulabul ilmu, seharusnya juga meneliti hasil ijtihad-ijtihad tersebut. Jangan lantas langsung menuduh bid’ah, sesat, kafir atau sebutan buruk lainnya terhadap mereka, hanya karena alasan tidak sama dengan manhajnya. Atau sebaliknya, menelan bulat-bulat tanpa mau menelitinya, tapi tidak mau dituduh fanatik dan taklid buta?

Berikut aku sampaikan sebuah article menarik yang bersumber dari blognya al-akh Abu Salma (semoga Allah menambah pahala atas usahanya) di http://dear.to/abusalma karya al-Ustadz Arifin Baderi, MA.  Semoga bermanfaat… 

Bila kita membaca nasehat-nasehat para ulama’ –baik ulama’- terdahulu maupun ulama’ zaman sekarang- dalam perihal menuntut ilmu, maka kita akan dapatkan mereka menganjurkan kita untuk memulai mempelajari ilmu-ilmu yang paling penting, kemudian yang penting, dan kemudian yang kurang penting dan seterusnya,. Sehingga setiap orang yang ingin berhasil dalam menuntut ilmu, maka dengan ilmu itulah ia memulai belajar. Dan setelah ia mengetahui ilmu yang paling penting, lalu iapun harus bisa memilah-milah pembahasan-pembahasan ilmu tersebut, sehingga ia harus mendahulukan hal-hal prinsip dalam ilmu tersebut, sebelum ia mempelajari hal-hal lainnya. 

Sebagai contoh: Ilmu yang paling penting dalam kehidupan seorang muslim, adalah ilmu tauhid, maka ilmu inilah yang pertama kita pelajari. Dan ketika kita hendak memulai belajar ilmu tauhid, maka kita harus tahu, dari bagian ilmu tauhid yang mana kita harus memulai ? Apakah kita mulai dari mempelajari permasalahan tauhid uluhiyah, ataukah tauhid rububiyyah, atau tauhid asma’ wa shifat ? Mungkin ada yang berkata : Bagaimana, saya bisa melakukan hal ini, sedangkan saya adalah pemula atau orang awam, yang belum tahu apa-apa ? 

Nah…inilah sumber permasalahan yang ingin saya tekankan. Sebagai tholibul ilmi pemula, terlebih-lebih masyarakat awam , tentunya ia tidak akan mampu melakukan hal ini sendiri, oleh karena itu, disini datanglah peran para asatidzah dab du’at, mereka dituntut untuk mengarahkan dan membimbing murid-murid mereka, masing-masing disesuaikan dengan kemampuannya. Nah…kewajiban inilah yang saya rasa telah banyak dilalaikan oleh para asatidzah dan du’at-du’at kita, sehingga terjadilah kekacauan, dan berbagai fitnah di masyarakat. 

Artinya : Berbicaralah kepada setiap manusia dengan masalah-masalah yang mampu mereka pahami, apakah kalian suka bila Allah dan Rasul-Nya didustakan. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori tanpa menyebutkan sanad, dan Imam Al Baihaqi dalam kitab Al Madkhal, dan Al Khathib Al-Baghdady dalam kitab Al Jami’, keduanya dengan menyebutkan sanadnya). 

Sebagai contoh nyata : Pada +/- 4 tahun silam, pada saat terjadi muqabalah (test seleksi mahasisiwa untuk belajar di Al Jami’ah Al-Islamiyyah), berkumpulah sekitar 50 orang thullabul ilmi di sebuah pesantren, lalu beberapa asatidzah –termasuk saya sendiri- menghubungi beberapa syekh yang sedang menjalankan test muqobalah tersebut, guna emohon agar sebagian mereka sudi mengunjungi pesantren tersebut diatas dan kemudian menguji ke 50 thullab tersebut. Alhamdulillah, salah seorang syekh yang ada kala itu bersedia memenuhi undangan kita, syekh tersebut bernama : “Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil” Penulis buku Manhaj dan Aqidah Imam Syafi’iy yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi’I), dan ketika beliau sudah tiba di pesantren yang dimaksud, maka beliau langsung mengetest / menguji ke-50 thullab, satu demi satu.  

Dan diantara pertanyaan yang beliau lontarkan kepada mereka :“Sebutkan rukun-rukun sholat?”Sangat memalukan, dari ke 50 orang tersebut, tidak satupun yang berhasil memberikan jawaban, walau hanya menyebutkan satu rukun saja. Bahkan ada salah satu dari mereka yang memeberanikan diri untuk menjawab, dan  berkata : “Diantara rukun sholat adalah berwudhu sebelumnya”. Lalu syekh tersebut bertanya kepada salah seorang mereka : “Siapakah yang lebih kafir, ahlul bid’ah ataukah yahudi?”, maka dengan sekonyong-konyong orang tersebut berkata : Ahlul bid’ah lebih kafir dibanding yahudi. Tatkala syekh Muhammad bin Abdul Wahhab mendengar jawaban tersebut, beliau terbelalak, seakan tidak percaya melihat kenyataan yang sangat memalukan ini dan berkata: “Apakah ini yang kalian pahami tentang manhaj salaf ?!, Siapakah yang mengajari kalian demikian ?!. 

Yang lebih parah dari itu semua, pada keesokan harinya, ada salah seorang ustadz yang berceramah dan berkata : “Sesungguhnya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil telah dipengaruhi oleh orang-orang sururiyyin, sehingga bertanya kepada murid-murid kita dengan pertanyaan yang rumit”. 

Apakah para pembaca percaya dengan komentar ustadz tersebut, apakah pertanyaan tentang rukun sholat rumit? Apakah tidak ada yang tahu bahwa yahudi jelas-jelas kafir, sedangkan ahlul bid’ah banyak dari mereka tidak sampai kepada kekufuran ?!?!?! 

Contoh lain : Beberapa saat lalu, ramai terjadi fitnah antara masyarakat dengan syabab yang telah kenal pengajian salaf, dalam masalah beradzan diluar masjid, iqomah tanpa menggunakan pengeras suara, menentukan waktu-waktu shalat dengan menggunakan matahari, mengenakan pakaian gamis dilingkungan yang tidak kenal gamis, seperti di kampus, dll. 

Contoh lain : Setiap kali sampai ke Indonesia sebuah kitab baru, terutama yang ditulis oleh ulama’-ulama’ zaman sekarang, seperti Syekh Rabi’ bin Hadi Al Madkholi, Ali Hasan, Mansyur Hasan Salman, atau yang lainnya, kita langsung ramai-ramai membacakan kitab tersebut, dan marak diadakan dauroh-dauroh membahas kitab tersebut, dan tatkala ada kitab baru lagi,maka kitapun ramai-ramai pindah ke kitab tersebut, dan begitulah seterusnya. Bukan berarti tidak dibenarkan untuk membaca kitab tersebut, akan tetapi, sistematis dalam belaja dan mengajar harus tetap dijaga. 

Contoh lain : Tatkala ada salah seorang dari ustadz, atau da’i yang sedang ditahdsir, maka disetiap kota, dan setiapa majlis, pembicaraan dan materi kajiannyapun berhubungan dengan ustadz tersebut, baik yang pro ataupun kontra, sibuk dengan isu seputar permasalahan tersebut, dan melalaikan ilmu. 

Sikap yang tidak punya pendirian ini, bagaikan buih lautan yang diombang-ambingkan oleh angin, kemana angin berhembus, maka kesanalah buih menuju. Oleh karena itu tidak heran kalau keilmuan yang terbentuk dari cara pedidikan dan dakwah seperti ini, tidak kokoh sebagaimana lemahnya buih lautan yang tidak pernah tetap pada sebuah pendirian. Sebagai wujud lain dari permasalahan ini adalah : Sering kali kita merasa cukup dengan hanya mengenal nama sebuah istilah, walaupun tidak mengenal hakikat. 

Para ulama telah banyak menjelaskan, bahwa setiap nama dalam syariat islam ini, adalah merupakan istilah syar’i, sehingga defiinisi dan maknanyapun harus dipahami sesuai dengan yang dikehendaki dalam syariat islam, tidak cukup untuk dipahami secara bahasa Sebagai contoh : kata “sholat” secara bahasa kata ini bermakna “doa”, akan tetapi dalam syariat kata tersebut memiliki definisi lain, sehingga kalau kita membaca ayat atau hadits yang menyebutkan kata “sholat”, maka kita fahami secara istilah syariat, bukan secara bahasa. Begitu juga halnya dengan istilah –istilah syariat lainnya, kecuali kalau ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari kata “sholat”disitu adalah makna secara bahasa, bukan secara syariat. 

Nah…sampai saat ini, kita telah banyak mengenai dan tahu berbagai istilah dalam syariat, akan tetapi yang menjadi permasalahan, apakah kita sudah mengenal makna istilah tersebut secara syariat, sebagaimana kita mengenal definisi kata “sholat”, lengkap dengan mengenal syarat, rukun, wajibat, dan sunnah-sunnahnya?.Untuk lebih jelasnya, kita kenal kata “tasyabbuh”, apakah kita sudah mengetahui tentang makna kata ini dengan benar, syarat-syarat, rukunrukun, dan hukumnya ? atau kita baru tahu namanya saja ? Sebagai bukti, mari kita renungkan bersama hadits berikut ini :Artinya : Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, ia berkata : “Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hendak menuliskan surat ke romawi, (para sahabat berkata kepada beliau) : Sesungguhnya orang-orang romawi tidak mau membaca surat, kecuali bila berstempel. Maka Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam membuat stempel dari perak”. (HR Bukhori dan Muslim) 

Bukankah Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam dalam kisah ini meniru kebiasaan orang-orang kafir? Bukankah ini tasyabbuh ? Ini menunjukkan bahwa tidak semua perbuatan yang menyerupai orang kafir, atau ahli bid’ah diharamkan, akan tetapi ada beberapa kriteria / syarat yang harus diperhatikan, diantaranya :1.    Perbuatan tersebut merupakan ciri khas mereka.2.    Perbuatan tersebut tidak mendatangkan manfaat.3.    adanya niat meniru, berdasarkan hadits ( Innal a’malu binniyaati / sesungguhnya setiap amalan disertai dengan niat…)  

Sebagai contioh lain : Kita semua tahu, bahwa mobil, pesawat terbang, berbagai peralatan telekomunikasi yang ada pada zaman kita ini, adalah dibuat oleh orang-orang kafir, tapi kenapa tidak satu orangpun yang mengharamkannya hal-hal tersebut dengan alasan tasyabbuh? 

Yang lebih memilukan adalah nasib istilah “manhaj salaf”, betapa sering kita mengaku bahwa kita bermanhaj salaf, mengikuti manhaj salaf, dan berdakwah sesuai dengan manhaj salaf, tapi mari kita jujur, dan balik bertanya kepada diri sendiri, apa sebenarnya yang dimaksud dengan manhaj salaf, bagaimana rumusannya, permasalahan apa saja yang tergolong dalam manhaj salaf, sejauh mana kita telah kenal atau menguasai atau memahami manhaj salaf…dst? 

Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang –menurut hemat saya- sampai saat ini di negri kita Indonesia, belum mendapatkan jawaban dan penjelasan yang semestinya. Oleh karena itu, setiap kali kita mengenal atau mendengar sebuah nama atau istilah dalam syariat ini, hendaknya kita jangan merasa puas, sebelum mengenal dan memahami segala permasalahan yang berhubungan dengan istilah tersebut. Dengan cara kita tanyakan kepada para `ulama atau kita baca kitab-kitab yang menjelaskan istilah tersebut hingga tuntas. Sebagai wujud lain dari permasalahan pertama ini:adalah sikap meremehkan peranan kaedah-kaedah dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam berbagai ilmu syariat. 

Pada akhir-akhir ini, saya mulai mendengar ungkapan-ungkapan yang menyeru agar kita tidak menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu ushul fiqh, qowaid fiqhiyyah dan tidak perlu mempermasalahkan pembagian suatu ibadah menjadi: rukun, syarat, wajib, dan sunnah.  

Mereka berkata : “Yang penting bagi kita adalah mengetahui, bahwa amalan tersebut diamalkan oleh Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi Wassalam, maka kita amalkan, tidak perlu tahu, apakah hal tersebut merupakan syarat, rukun, atau wajib, atau sunnah dalam suatu sebuah ibadah. 

Yang lebih menyedihkan lagi, bila hal ini diucapkan oleh orang yang mengaku dirinya bermanhaj salafy, lebih menyedihkan lagi kalau orang tersebut adalah seorang yang dipanggil ustadz, dan sangat lebih memilukan lagi bila ternyata yang mengucapkan itu adalah seorang yang menyandang gelar ( Lc ) yang ia peroleh dari Al Jami’ah Al Islamiyyah  di Madinah Munawwarah. Para ulama semenjak zaman dahulu kala mengatakan : Artinya : Barangsiapa yang tidak memperoleh hal-hal yang prinsip, maka dia tidak akan mencapai ilmu. 

Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada orang-orang yang mengatakan ungkapan ini : “Ulama manakah, dan siapakah namanya, yang berhasil menjadi ulma’, tanpa mempelajari lmu-ilmu tersebut?” Pada mulanya, saya merasa keheranan mendengar ungkapan ini, tapi setelah saya pikirkan, kemudian saya cocokkan dengan keadaan orang-orang tersebut, rasa heran saya menjadi sirna, hal ini dikarenakan saya berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut, rasa heran saya menjadi sirna, hal ini dikarenakan saya berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut hanya ingin menutupi ketidak pahamannya tentang ilmu-ilmu tersebut. 

Untuk sedikit memberikan gambaran akan pentingnya mengetahui ilmu-ilmu tersebut, dan pembagian suatu ibadah menjadi syarat, rukun, wajib, dan sunnah, berikut ini akan saya jelaskan satu hal yang tidak asing bagi kita semua. Ahlis sunnah wal jama’ah telah sepakat dalam mendefinisikan “iman”, bahwa iman adalah keyakinan hati, ucapan lisan dan amalan dengan anggota badan. 

Dan merekapun telah sepakat, bahwa barangsiapa yang mengingkari sesuatu yang telah disepakati olejh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya wajibnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, dll, maka dihukumitelah kafir, keluar dari agama islam, walaupun ia masih tetap menjalankan sholat, puasa, mandi janabah dll. 

Imam An Nawawi berkata : “Adapun pada saat ini, sungguh agama Islam telah menyebar, dan telah merata dikalangan kaum muslimin ilmu tentang kewajiban membayar zakat, sehingga diketahui oleh setiap orang khusus dan orang awam, ulama dan orang bodohpun sama-sama mengetahuinya, maka tidak diberikan uzur bagi siapapun, karena sebuah alasan yang ia pegangi, untuk mengingkari kewajiban zakat. Begitu juga halnya dengan orang yang mengingkari sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, haramnya zina, khomer, menikahi mahram. Dan hukum-hukum yang serup, kecuali orang yang baru masuk Islam, dan tidak mengetahui norma-norma agama islam, maka bila orang seperti ini mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut, karena kebodohannya tentang hal tersebut, ia tidak kafir.” ( Syarah Shohih Muslim 1/250 )  

Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya beriman dengan wajibnya kewajiban-kewajiban yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang, dan dihaamkannya hal-hal yang diharamkan yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang adalah salah satu prinsip keimanan yang paling agung dan salah satu dari kaedah-kaedah agama Islam, dan orang yang mengingkarinya telah disepakati akan kekafirannya”. (Majmu’ Fatawa 12/496). 

Oleh karena itu, orang yang menjalankan sholat-misalnya-, dengan sempurna, akan tetapi ia tidak menyakini bahwa takbiratul ihram adalah rukun, maka sholatnya tidak syah, walaupun ia tetap bertakbiratul ihram. Dan barangsiapa yang tidak meyakini wajibnya berwudhu sebelum sahalat, maka sholatnya tidak syah, walaupun ia telah berwudhu sebelumsholat. Inilah salah satu wujud nyata dari definisi iman menurut Ahlis Sunnah Wal Jama’ah. Untuk lebih jelas lagi. Silahkan baca buku-buku fiqih yang yang menjelaskan syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib sholat. 

—oOo— 

NB: Ikhwan wa akhwat fillah article menarik ini mengingat kanku kepada materi-materi tarbiyah dan metode halaqah yang pernah aku peroleh dan dikambinghitamkan sebagai bid’ah oleh sebagian Aktivis Baru Ghirah yang baru memasuki manhaj ini. Tidak perlu aku sebutkan dan tunjukkan, karena akan mengorek luka lama dan semakin membuat aku mengerenyitkan dahi tanda kebingungan 🙄 

Mungkin sebagian dari kalian yang berada atau pernah berada di dalam tarbiyah telah mengetahuinya, bahwa tarbiyah memiliki metode yang sistematis dalam mendidik orang-orang yang berada di dalam jamaahnya. Yup, kami menyebutnya Kurikulum Tarbiyah. Kurikulum yang berbeda sesuai level kemampuan yang dimiliki oleh orang-orang yang berada di dalam manhajnya. Mengenai hal ini, sudah dijual bebas dan banyak beredar di internet loch. Monggo kalau mau dimanfaatkan, insyaAllah, nggak akan bid’ah dan aneh. 

Dan ternyata manhaj yang sedang aku teliti ini pun menyadari kelemahannya, mungkin suatu saat merekapun akan membuat kurikulum juga untuk mendidik orang-orang yang berada di dalamnya, mudah-mudahan ini bisa menambah pahala buat orang-orang yang membuatnya untuk pertama kali. Kita tunggu saja….  

Wallahu’alam bishawab. 

Sumber : http://dear.to/abusalma