“Sumpah, Perayaan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam Itu Banyak Bid’ah Sesatnya!?!?”

  

Oleh Ibn Abd Muis

  

Setelah lebih dari delapan tahun nggak pernah menghadiri Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, malam Kamis kemarin temen gue yang emang jarang ketemu ngajak untuk menghadiri Maulid di Masjid Fajrul Islamnya KH. Zainuddin MZ di kawasan Radio Dalam Jakarta Selatan.

  

Nggak niat sama sekali dan sumpah males banget untuk hadir, tapi lantaran yang ngajak temen gue dan kebetulan karena dia nggak begitu perduli dengan agama, gue pun mengiyakan ajakan tersebut. Alhasil karena datangnya agak awal, kita berdua dapat tempat agak di depan dekat panggung acara. Harapan gue ada dampak positif untuk temen gue itu.

  

Beberapa saat kemudian, tim hadroh atau yang biasa disebut marawis melantunkan lagu-lagu shalawat diiringi dengan tetabuhan dari rebana yang dimainkannya. Jujur saat itu gua ngerasa agak nggak nyaman. Sesekali gue merinding, sesekali gue hanyut, sesekali gue terkesima.

  

Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya acara dibuka juga. Diawali dengan pembacaan al-Qur’an, sambutan-sambutan dari ketua panitia, Fikri Haikal putra Zainuddin MZ sebagai perwakilan yang punya hajat, kemudian ketua badan musyawarah betawi dan sekwilda DKI yang menggantikan gubernur DKI yang berhalangan lantaran sedang ke Turki. Kemudian acara dilanjutkan dengan pelantunan sirah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Sampai akhirnya ketika lantunan mahallul qiyam atau biasa kita kenal dengan shalawat badar dimulai seluruh jama’ah berdiri sambil menengadahkan tangannya seperti sedang berdo’a. MasyaAllah, beberapa orang menangis, sebagian lagi menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara gue cuma bengong, merengut, dan berusaha berfikir.

  

Oh my god! Subhanallah! Astaghfirullah!”, cuma itu yang keluar dari bibir gue. It’s amazing, nggak ada yang bisa nyambung dengan akal dan logika gue. Fungsinya apa? Apakah ada maslahatnya? Sesekali gue lihat, ada beberapa orang jamaah yang berusaha berjinjit seperti hendak melihat sesuatu yang ada dibalik barisan jama’ah di depannya. Mungkin beberapa dari mereka ada yang mengira Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam datang. “It’s a stupid baby!!!” Nggak mungkinlah beliau Shallallahu Alaihi Wasallam datang! Cuma orang-orang yang nggak punya akal yang berpikiran seperti itu. Rasulullah datang? Oh, seandainya itu benar-benar terjadi, mungkin gue orang pertama yang kabur dari acara tersebut. Gua berharap hal itu dapat berakhir. Gue bete, gue kesel dan marah! Akhirnya ritual aneh tersebut berakhir juga, setelah mungkin hampir 10-15 menitan.

  

Ikhwah fillah, ritual di atas biasa dikenal dengan pembacaan barzanji, diba’I atau burdah yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah menjadi syarat penting. Ditengah pembacaan barzanji, diba’I atau burdah tersebut ada bacaan yang dikenal dengan mahallul qiyam. Disini, jamaah berdiri dengan alasan menghormatinya karena saat itu diyakini bahwa roh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mendatangi mereka. Ini sungguh bid’ah, kurafat dan takhayul yang dimunculkan oleh pemikiran yang bertentangan dan menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.

  

Allah Sunhanahu Wa Ta’ala berfirman,

  

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (Qs. AnNajm:23)

  

Setelah semua jama’ah duduk, akhirnya ceramah inti pertama dimulai juga oleh KH. Nur Iskandar SQ. Ceramahnya bagus, tapi sayangnya gue bukan tipe muslim yang suka dengerin thausiyah dengan banyak kelucuan. Kalau sesekali boleh lah, tapi kalo kebanyakan, biasanya esensi dari ceramah tersebut tidak ditangkap oleh umat. Atau kalaupun ditangkap, paling cuma inget lucunya doang tanpa ada tersisa untuk dijadikan masukan perbaikan. Sia-sia menurut gue. Inti dari ceramah itu yang gue tangkep adalah bagaimana kita bisa mengamalkan bismillah dan shalawat nabi sebagai lambang kecintaan kita kepada Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam. Ada satu yang nggak masuk akal bagi gue saat beliau mengatakan bila kita ingin bisa pergi haji maka amalkan shalawat Jibril selama sepuluh hari berturut-turut. Katanya, insyaAllah hajatnya terkabul. Aku cuma bengong, apakah ada hujjah dalil shahihnya??? Bagaimana bila tidak ada dalil shahihnya? Berapa banyak umat yang akan mengamalkannya? Laa haula walaquwata… semoga saja ada dalil shahihnya sehingga ketaklidan sebagian jama’ah tidak merugikan mereka akhirnya. Tapi untuk aku, tidak akan mengamalkannya sebelum kubuktikan sendiri hujjah dalilnya, even itu dari ulama terkenal atau orang yang dianggap ahli hadits sekalipun.

  

Allah Sunhanahu Wa Ta’ala berfirman,

  

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Qs. Al-Isra’:36)

  

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak didasari oleh agama kami, maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim)

  

Barangsiapa yang membuat-buat ibadah yang bukan merupakan bagian darinya, maka ibadah itu tertolak.” (HR. Bukhari Muslim)

  

Setelah ceramah inti pertama selesai, sampailah kepada ceramah inti kedua yang diberikan oleh ustadz Arifin Ilham. Jujur sampai dengan saat itu, aku belum pernah hadir dalam majlis dzikirnya atau mendengarkan ceramahnya secara penuh dari awal sampai akhir. Baru kali ini aku melakukannya dan aku cukup kagum dengan metode dakwahnya.

  

Diawali dengan shalawat nabi khasnya, kemudian beliau menyampaikan thausiyah yang penuh dengan penyadaran akan kematian. Juga hal-hal yang harus kita amalkan sebagai wujud kecintaan kita kepada Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam. Sayangnya gue nggak bawa catatan seperti biasanya jika menghadiri kajian Islam karena emang nggak niat sama sekali. Gue hanya berharap ada dampak positif buat sahabat lama gue, kali aja bisa tambah taat ghitu….

  

Berikut adalah hal-hal yang gue inget dari thausiyahnya sebagai wujud kecintaan kita terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

  

[1] Amalkanlah shalat berjama’ah apapun kondisinya. Kemudian beliau bercerita tentang apa yang dilakukan Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam mengenai shalat berjama’ah ini. Mengenai hal ini, insyaAllah, setelah ini akan gue publish article yang berjudul “Hukum Shalat Berjama’ah Itu WAJIB Bukan Sunnah Tau!!!”, yang memang sudah gue buat paginya sebelum ajakan mendadak dari temen gue. Biar nggak kehilangan moment, jadi pengalaman ini aja dulu yang dipublish.

  

[2] Amalkanlah shalat malam, karena itu adalah kebiasaan orang-orang shalih dari umat ini.

  

[3] Amalkanlah puasa Senin Kamis. Katanya itu adalah makanan ruhani yang paling nikmat.

  

[4] Bersedekahlah dalam kondisi apapun.

  

[5] Hiasilah hari-harimu dengan kondisi selalu dalam keadaan berwudhu. Mengenai hal ini beliau menceritakan kisah Ali Radhiyallahu Anhu yang selalu menjaga wudhunya. Suatu kali beliau terlihat pucat kemudian beliau berlalu dari sahabatnya. Saat kembali beliau telah cerah kembali. Kemudian salah seorang sahabat bertanya akan apa yang terjadi. Dan Ali Radhiyallahu Anhu menjawab, tadi wudhuku batal, maka aku pergi untuk berwudhu kembali.

  

Ustadz Arifin Ilham juga menambahkan, bukankah kita selalu berharap meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah. Karena itu jagalah wudhu kita, mudah-mudahan saat ajal menjemput kita sedang dalam keadaan berwudhu. Saat beliau berkata demikian, akal logika gue berjalan. Subhanallah, bukankah gue dulu pernah mengamalkannya… dan itu memang bisa membentengi gue dari bersentuhan dengan wanita bukan muhrimnya karena sengaja. Subhanallah, bukankah keadaan suci dari wudhu bisa menjaga kita dari berbuat maksiat…

  

Oh, ayahanda Arifin… jazakallahu khair atas thausiyahnya. Jikalau aku tidak menghadiri majlis ini mungkin aku akan melewatkan bulan kelahiran Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam begitu saja tanpa ada dampak apapun. Ini adalah thausiyah yang sederhana, tapi sungguh dengan metode dakwah ayahanda yang khas, membuat itu begitu mengena. Ya terbukti, dari sekian orang yang berbicara di atas panggung, hanya ayahanda Arifinlah yang membuat semua jama’ah khusu’ mendengarkan. Betapa banyak orang yang berceramah tanpa diselingi kelucuan, kecuali ada saja beberapa jama’ah yang tertidur. Tapi engkau ayahanda, hal tersebut sungguh tidak terjadi padamu, dan itu membuat aku takjub pada pandangan pertama.

  

Pesannya lagi yang lain. Karena kita berharap meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Maka jagalah hatimu dari berburuk sangka terhadap orang lain. Jangan biarkan ada keburukan yang kamu anggap baik mengenai saudara muslimmu. Gue jadi teringat dengan kasus Aa’ Gym yang baru-baru ini mendapat fitnah kembali akan kehidupan rumah tangganya. Subhanallah, memang terlalu banyak orang yang tidak menginginkan kebaikan menimpa saudaranya, apakah itu orang biasa, apalagi orang yang cukup dikenal sebagai da’i, ulama, syuhada, mujahid yang berjuang mensyiarkan agama Islam agar bisa dikenal oleh masyarakat. Baik oleh orang-orang yang nyata kekafirannya maupun oleh orang-orang yang katanya sangat paham terhadap ilmu agama.

  

Setelah ceramah inti ke dua selesai. Menteri Koperasi menyampaikan kata sambutannya. Kok belakangan, maklum hihihi beliau terlambat hadir karena sibuk. Cukup lama, hal-hal yang aku catat dalam ingatanku adalah beliau menjadi anggota koperasi yang dimiliki ustadz Arifin Ilham yang pengelolaannya diperuntukkan untuk melindungi para nelayan miskin dari program kristenisasi. Ternyata bisnis yang ditekuni ustadz Arifin Ilham untuk kepentingan umat Islam juga khan. Meski ada yang berusaha melakukan tahdzir terhadapnya, siapa peduli, gue pikir mereka cuma iri ajha dengan beliau.

  

Kemudian giliran KH. Zainuddin MZ yang memberikan penutup yang hampir mirip dengan ceramah. Beberapa hal yang aku garis bawahi atas apa yang diucapkannya adalah beliau menceritakan tafsir surat at-Taubah ayat 128.

  

Dan hadist Ibnu Abbas tentang kiamat Qubra yang berhubungan dengan manusia pertama yang dibangkitkan setelah tiupan sangkakala kedua. Dengan ceramahnya yang khas, esensi yang seharusnya dapat direnungi oleh jama’ah karena terlihat sekali bukti kecintaan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Contohnya ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dibangkitkan dari kuburnya oleh malaikat Jibril, hal pertama setelah dia tahu bahwa saat ini adalah hari kiamat, beliau Shallallahu Alaihi Wasallam malah bertanya tentang umatnya, bukan istrinya, anaknya, sahabatnya, atau sanak kerabatnya. Tapi beliau malah membuat buyar dengan kelucuan yang membuat jama’ah tertawa. Sayang ya… padahal seandainya dibawakan dengan serius seperti gaya ceramahnya ayahanda Arifin, pasti bisa membangkitkan rasa cinta yang begitu dalam dan keinginan yang menggebu untuk meneladani Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

  

Okeh, ikhwah sekalian. Segitu saja cerita dari gue akan peringatan maulid yang gue alami. Itu adalah realitas yang terjadi. Ada beberapa yang aneh dan nggak masuk akal. Ada beberapa yang nggak ada maslahatnya sama sekali bahkan berpotensi kepada bid’ah yang sesat. Ada beberapa yang melebihi porsi kepantasan. Tapi ada juga kebaikan yang bisa kita manfaatkan. Alhamdulillah, mudah-mudahan kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk lagi menyesatkan. Karena sesungguhnya muslim yang baik adalah yang hanya mau mengambil kebenaran dan mencampakkan kesalahan.

  

Mudah-mudah, sejak sekarang sedikit demi sedikit kita berusaha menghilangkan yang sungguh nyata kebid’ahannya seperti contoh-contoh berikut ini yang biasa dilakukan dalam merayakan maulidur rasul yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dan nggak nyambung dengan akal kita:

  

Misalnya seperti yang terjadi di Banten, ribuan orang mendatangi kompleks Masjid Agung Banten yang terletak 10 km arah utara pusat Kota Serang. Mereka berziarah ke makam para sultan, antara lain Sultan Hasanuddin, secara bergiliran. Sebagian di antaranya berendam di kolam masjid itu, konon katanya, untuk mendapat berkah. Ada di antara mereka yang sengaja mengambil air kolam tersebut untuk dibawa pulang sebagai obat..

  

Di Cirebon, pada tanggal 11-12 Rabiul Awal banyak orang Islam datang ke makam Sunan Gunung Jati, salah seorang dari wali sanga, penyebar agama Islam di kawasan Jawa Barat dan Banten. Biasanya di Keraton Kasepuhan diselenggarakan upacara Panjang Jimat, yakni memandikan pusaka-pusaka keraton peninggalan Sunan Gunung Jati. Banyak orang berebut untuk memperoleh air bekas cucian tersebut, karena dipercaya akan membawa keberuntungan. Ini jelas syirik yang wajib dikikis habis.

  

Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten. Istilah ini berasal dari kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat.

  

Pada tanggal 5 bulan Maulud, kedua perangkat gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu, dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di bangsal Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 kedua perangkat gamelan tersebut dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta, ring – iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit Kraton berseragam lengkap.

  

Pada umumnya, masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugrahi awet muda. Sebagai “Srono” (Syarat) nya, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten.

  

Puncak perayaan Sekaten disebut Gerebeg Mulud. diselenggarakan pada hari keduabelas bulan Mulud kalender Jawa. Festival ini dimulai pada pukul 7.30 pagi, didahului oleh parade pengawal kerajaan yang terdiri dari 10 unit: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijeron, Surokarso, dan Bugis. Setiap unit mempunyai seragam masing2. Parade dimulai dari halaman utara Kemandungan kraton, kemudian melewati siti hinggil menuju Pagelaran, dan selanjutnya menuju alun2 utara.

  

Pukul 10.00 pagi, Gunungan meninggalkan kraton didahului oleh pasukan bugis dan surokarto. Gunungan dibuat dari makanan seperti sayur2an, kacang, lada merah, telor, dan beberapa pelengkap yang terbuat dari beras ketan. Dibentuk menyerupai gunung, melambangkan kemakmuran dan kekayaan tanah mataram.

  

Parade disambut dengan tembakan-tembakan dan sahut-sahutan oleh pengawal Kraton ketika melewati alun-alun utara, prosesi semacam ini dinamakan Gerebeg. Kata ’gerebeg’ berarti ’suara berisik yang berasal dari teriakan orang-orang’. selanjutnya gunungan dibawa ke Masjid Agung untuk diberkati dan kemudian dibagikan ke masyarakat. Orang-orang biasanya berebut untuk mendapatkan bagian dari gunungan karena mereka percaya bahwa makanan tersebut mengandung kekuatan gaib. Para petani biasanya menanam sebagian jarahan dari gunungan di tanah mereka, dengan kepercayaan ini akan menghindarkan mereka dari kesialan dan bencana.

  

Kalau kita perhatikan perayaan-perayaan di atas pastilah tidak meragukan bahwa hal tersebut merupakan bentuk kesyirikan karena pengaruh kepercayaan animisme yang masih melekat di kalangan sebagian masyarakat Indonesia.

  

Setelah kita bisa menghilangkan contoh bid’ah-bid’ah sesat di atas. Renungilah pendapat-pendapat berikut ini:

  

Al-Baihaqi di dalam “Syakbu al-Iman” daripada Ubai bin Kaab daripada Nabi saw, sesungguhnya baginda menafsirkan ‘hari-hari Allah’ dalam surat Ibrahim ayat 5 yang artinya, ”Dan ingatkanlah mereka dengan hari-hari Allah.” ialah hari-hari nikmat dan kurniaan Allah. Al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani menjelaskan lagi dengan katanya “kelahiran Nabi saw merupakan nikmat yang paling besar.”

Ibnu Hajar Al-Asqalani pengarang Syarah Bukhari yang bernama Fathul Bari berkata bahawa hadis,

  

Bahwasanya Nabi Muhammad saw datang ke Madinah maka beliau mendapati orang-orang yahudi berpuasa pada hari Asyura iaitu hari 10 Muharram, maka Nabi bertanya kepada orang yahudi itu: “Kenapa kamu berpuasa pada hari Asyura?” Jawab mereka: “Ini adalah hari peringatan, pada hari serupa itu dikaramkan Firaun dan pada hari serupa itu Musa dibebaskan, kami berpuasa kerana bersyukur kepada Tuhan.” Maka Nabi berkata: “Kami lebih patut menghormati Musa berbanding kamu.” – [Riwayat Bukhari dan Muslim.]

  

ini dapat dipetik hukum: – Umat Islam dibolehkan bahkan dianjurkan memperingati hari-hari bersejarah, hari-hari yang dianggap besar umpamanya hari-hari maulud, mi’raj dan lain-lain. – Nabi pun memperingati hari karamnya Firaun dan bebasnya Musa dengan melakukan puasa Asyura sebagai bersyukur atas hapusnya yang batil dan tegaknya yang hak.

  

Dalam sahih Muslim dari Abi Qatadah al-Ansari berkata: Nabi (s.a.w.) telah ditanya tentang puasa pada hari Senin lalu baginda bersabda: “Di hari tersebutlah aku dilahirkan dan di hari tersebut jugalah aku diutuskan.” Keterangan: Rasul saw menegaskan kelebihan hari kelahirannya berbanding hari-hari lain. Oleh itu setiap mukmin sewajarnya berlumba-lumba beramal dan bersyukur dengan kelahiran baginda saw yang membawa rahmat kepada seluruh alam.

  

Imam Jalaluddin Sayuti berkata, “Ibadat macam itu adalah bid’ah Hasanah (bid’ah baik) yang diberi pahala mengerjakannya kerana dalam amal ibadat itu terdapat suasana membesarkan Nabi, melahirkan kesukaan dan kegembiraan atas lahirnya Nabi Muhammad SAW yang mulia”.

  

Dari Abi Qatadah al-Ansari berkata: Nabi (s.a.w.) telah ditanya tentang puasa pada hari Senin lalu baginda bersabda: “Di hari tersebutlah aku dilahirkan dan di hari tersebut jugalah aku diutuskan.” (HR. Muslim)

  

Muhammad Sulaiman Al-Manshurfury dan peneliti astronomi, Mahmud Basya memprediksikan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam lahir di Mekkah pada senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awal, permulaan tahun dari peristiwa gajah, dan empat puluh tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan, atau bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April 571 M.

  

Tapi tahukah ikhwah, bahwa pada hari senin dan tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriyah, di waktu Dhuha, beliau Shallallahu Alaihi Wasallam berpulang kepada Kekasih Yang Maha Tinggi dengan usia enam puluh tiga tahun lebih empat hari.

  

Lihatlah mengapa kita harus lebih berbahagia, padahal berpulangnya beliau Shallallahu Alaihi Wasallam pada bulan tersebut adalah jauh lebih pantas untuk kita bersedih dan lebih merenungi sirahnya dari pada merayakannya???

Berkata pula Syeikh Atiah Saqr: “Saya berpendapat tidak menjadi kesalahan untuk menyambut maulid. Apatah lagi di zaman ini pemuda pemudi Islam semakin lupa dengan agama dan kemuliannya. Perlu juga diingat sambutan tersebut janganlah dicemari oleh perkara-perkara haram dan bid’ah. Seperti pergaulan antara lelaki dan wanita tanpa batas. Kita juga tidak sewajarnya menjadikan sambutan ini sebagai satu tradisi yang khusus, sehingga timbul dalam kefahaman masyarakat jika sesuatu acara tidak dilansungkan maka seseorang itu dikira telah berdosa dan melanggar syariat.

Syeikh Yusuf Qaradhawi berkata (ringkasan): “Semua telah maklum bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw tidak merayakan hari kelahiran Rasulullah saw. Ini adalah karana mereka telah menyaksikan secara langsung setiap gerak-gerik Rasulullah saw sehingga segala peri kehidupan Rasulullah saw itu kekal di dalam hati dan juga ingatan. Sa’d Abi Waqas mengatakan bahwa beliau begitu semangat untuk menceritakan mengenai Rasulullah saw kepada anak-anak sama seperti semangat mereka mendidik anak-anak itu dengan Al-Quran. Oleh karana mereka sering menceritakan sejarah perjuangan Rasulullah saw, maka tidak perlulah mereka merayakan seperti dirayakannya Maulidur-Rasul saat ini.

Walau bagaimanapun, generasi kemudian telah mulai melupakan kegemilangan sejarah Islam dan kesannya. Dengan itu, perayaan Maulid Rasul ini diadakan bertujuan untuk mengingat kembali sejarah Islam ketika Rasulullah saw masih hidup. Tetapi malangnya, Maulid Rasul ini telah bercampur dengan amalan bid’ah yang ditentang oleh Islam. Sebenarnya, merayakan hari kelahiran nabi bermakna merayakan hari kelahiran Islam.

Maka dibolehkan merayakan Maulid nabi ini dengan syarat tidak dicampur-adukkan dengan perkara-perkara bid’ah. Tetapi sebaliknya diisi dengan ceramah yang menceritakan akan sejarah Islam.”

  

Kesimpulan :

  

Saya bukanlah orang yang menentang memperingati Maulid Rasul dengan berpendapat à Bila kita tidak bisa menjamin bahwa akan ada bid’ah yang muncul dalam rangka mengenang Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tersebut, sebaiknya kita tinggalkan memperingatinya dan renungkan hujjah dalil-dalil berikut ini:

  

[1] Firman Allah Ta’ala, “Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Qs. At-Taubah:100)

  

[2] Allah berfirman di dalam Al-Quran: Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu,Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. 3:31-32)

  

[3] “…Dan hendaklah kamu menjauhi perkara-perkara yang diada-adakan , kerana setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah , dan setiap bid’ah itu adalah sesat “ . [Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud]

  

[4] Dari Aisyah berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membuat-buat ajaran di dalam agama kami ini, yang bukan darinya, maka ia tertolak. Dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak didasari oleh agama kami, maka amalannya itu tertolak.”

  

[5] “….Sesungguhnya sebaik-baiknya ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruknya ibadah adalah yang dibikin-bikin, setiap ibadah yang dibikin-bikin itu bid’ah, setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya adalah neraka.” (HR. Muslim)

  

[6] Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orangorang yang setelahnya, kemudian orang-orang yang setelahnya.” (HR. Bukhari)

  

[7] Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah khlafaur rasyidin yang mendapatkan hidayah sesudahku. Pegang teguh sunnah tersebut dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hati kalian dari perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Dawud, at-Tarmidzi dan Ibnu Majah)

  

[8] Dan berkata Ibnu Mas’ud :“Barangsiapa yang ingin mencontoh, maka contohlah orang yang telah meninggal, merekalah para sahabat Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, umat yang paling baik, paling bersih hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, satu kaum yang Allah pilih untuk menyertai Nabi-Nya dan menyebarkan agama-Nya, maka teladanilah akhlak mereka dan jalan mereka, sesungguhnya mereka di atas petunjuk yang lurus.” (Syarhus Sunnah karya Imam al-Baghawi (I/156)

  

[9] Huzaifah Ibnu Al-Yamaan ra berkata : “Setiap ibadah yg tidak dilakukan oleh sahabat Rasulullah saw, maka janganlah melakukannya”

  

Sekali lagi gue tegaskan, pilihlah mana yang terbaik yang sesuai dengan hujjah dalil yang shahih tanpa kita menafikan akal logika yang Allah anugerahkan kepada kita. Kalau itu berpotensi kepada bid’ah yang nggak masuk akal logika lagi nyata menyesatkan maka tinggalkanlah. Tapi kalau hanya bid’ah dalam arti bahasa saja, maka biarkanlah. Kalau ada diantara kita yang mentahdzir Maulid Rasul dengan liar tanpa hikmah, maka itu terserah mereka. Untuk gue pribadi, kalau ada cara yang bisa lebih mendatangkan maslahat kenapa harus paksakan mengusahakan sesuatu yang justru mendatangkan banyak kemudharatan, khususnya untuk dakwah Islam itu sendiri. Wallahu musta’an.

  

Inspirasi : Peringatan Maulid Rasul 21 Maret 2008 di Masjid Fajrul Islam, Radio Dalam, Jakarta Selatan ; http://www.ustaz.blogspot.com/ ; article Ahmad Nizaruddin http://www.islamhouse.com/p/6288 ; http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/1/cn/1839 ; Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfury, Pustaka Al-Kautsar, cetakan I, 1997 ; 29811